Dahulu orang tidak mengerti bagaimana caranya untuk menyembah
Tuhan/Leluhurnya, tapi mereka tahu Bahwa Tuhan itu ada tapi tak tahu ada
dimana, karena Tuhan tiada bentuk dan rupa. Lalu mereka mencari-cari,
dengan hati yang masih lugu. Mereka beranggapan kemungkinan Tuhan berada
dibalik pohon-pohon besar atau gunung yang paling tinggi dan diatas
langit. Maka Menyembahlah mereka dengan segala ketulusan kepada pohon
besar itu yang dalam hati mereka anggap
itu adalah perwujudan Tuhan. Atau pula yang memenggadah keatas langit
untuk menyembah dan memberi penghormatan kepada Tuhan. Tapi mereka
sungguh melakukannya penuh hikmat, dengan memakai pakaian yang terbaik
dan sepenuh hati dan jiwa. Namun kita yang kepintaran menganggap mereka
menyembah berhala. Tanpa sadar kita yang hidup dijaman sekarang justru
lebih menyembah berhala yang bernama uang!
Kita yang menganggap diri beragama dan percaya Tuhan, menganggap orang
lain menyembah berhala, seberapakah ketulusan yang kita lakukan dalam
menyembah Tuhan? Tak jarang disaat ke tempat ibadah masih bisa memakai
baju seadanya, tapi kalau menghadap boss pakaiannya sungguh kerennya.
Saat beribadah, dering handphone saut menyahut, tak jarang dengan suara
berbisik masih sempatkan bicara soal bisnis. Saat mengikuti ibadah, otak
kita masih bisa berkeliaran kemana-mana. Masih sempat menggosip dan
dipenuhi pikiran kotor. Tak ada malu sedikit pun juga. Selesai berpuja
bakti sudah timbul kebencian lagi. Itulah yang terjadi pada diri
sendiri. Tapi tak perlu malu untuk mengakuinya saat ini. Simbol-simbol
agama memenuhi tubuh kita. Kalau Tuhan ada fotonya, pasti setiap kamar
kita ada mengantungnya .
Sekarang ini tidak sedikit yang sekedar
mengidolakan Tuhan, bukan dengan sungguh-sungguh percaya dan
menyembahnya lagi. Ini terbukti dari perbuatan kita yang sering
memalukan Tuhan. Nama Tuhan dan ajaran-ajaran Nabinya hanya jadi
pajangan dan bacaan tanpa tahu maknanya. Hanya jadi pembicaraan tanpa
ada dalam pelaksanaan. Kalaupun dilaksanakan, dengan cara yang salah dan
ditutupi dengan pembenaran. Buktinya adalah, Tuhan harus terpaksa terus
menurunkan bencana-bencana untuk mengingatkan kesalahan-kesalahan kita.
Dan itu terjadi lagi dan lagi, kenapa belum sadar juga? Yang ada kita
masih sibuk untuk saling menyalahkan.
Tuhan, maafkan saya yang "koplak" ini, karena saya termasuk salah satu pelakunya. Masih adakah kesempatan untuk merubahnya?
Sang Koplak
:Rahayu bumi dan langit beserta isinya
/ tan ama rwa jagat maya /
Tidak ada komentar:
Posting Komentar