Jumat, 18 Maret 2016

Purwadaksi Sunda

| No comment

Ada sebuah ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi ‘lali ka purwadaksina’. Ungkapan ini bermakna lupa kepada tempat asalnya. Mungkin sama dengan peribahasa kacang lupa kulitnya. Biasanya diungkapkan kepada seseorang yang menjadi OKB alias orang kaya baru yang melupakan keadaan dirinya sebelum menjadi kaya. Seperti Malin Kundang barangkali. Dalam kamus bahasa Sunda karya Danadibrata (2006) dan Hardjadibrata (2003), keduanya memaknai purwadaksina dengan ‘awal-akhirnya, dari permulaan hingga penghabisan, from beginning to the end’. Kiranya makna tersebut menimbulkan tanda tanya, jika diterapkan dalam peribahasa lali ka purwadaksina. Seseorang terbiasa melupakan tempat asalnya, bukan tempat terakhirnya. Dalam Kamus Umum bahasa Sunda susunan LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda) tahun 1978 maknanya lain lagi. Orang yang lali ka purwadaksina ialah: poho mana wétan, mana kidul, poho ka asal cara nu ‘linglung’, lantaran pangkat luhur atawa kabeungharan nu teu wajar (lupa mana timur mana selatan, lupa kepada asal seperti orang linglung, karena pangkat yang tinggi atau kekayaan yang tidak wajar). Semua kamus yang telah disebutkan di atas mencantumkan purwadaksina di bawah entri purwa yang berarti ‘timur’. Sementara daksina di seluruh kamus itu diartikan ‘selatan’. Baik purwa maupun daksina, berasal dari bahasa Sansekerta dengan arti yang sama.

Dari sana muncul pertanyaan, apa hubungan antara purwa-daksina (timur-selatan) dengan asal muasal atau wiwitan? Jika merujuk kepada kamus LBSS yang menyatakan bahwa lali ka purwadaksina berarti lupa arah timur dan selatan seperti orang ‘linglung’, layaknya orang yang melancong ke daerah lain, jawabannya tentu cukup sederhana: tidak ada kaitannya. Tetapi kiranya makna purwadaksina lebih dari itu. Oleh sebab itu, makna purwadaksina perlu dikaji lebih lanjut dengan melihat kosmologi Sunda pada masa lalu.

Makna Purwadaksina
 
Secara etimologi, purwa berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya bermacam-macam: ‘awal, permulaan, depan, bagian depan; timur; yang terdahulu, paling terdahulu.’ (Zoetmulder 2006: 887). Semua pemaknaan itu terikat dalam satu objek, yaitu matahari. Matahari terbit di sebelah timur. Ia merupakan awal dimulainya hari. Bagian bumi paling timur adalah bagian yang paling terdahulu terkena matahari. Contoh bagaimana matahari dianggap sebagai permulaan masih nampak pada masyarakat Kanékés. Ladang (huma) tempat dilaksanakannya upacara siklus pertanian adalah di huma sérang, huma yang posisinya paling timur dibanding huma-huma yang lain. Mengapa demikian? Karena secara simbolik huma sérang adalah huma yang paling depan, huma yang terlebih dahulu terkena sinar matahari. Jika upacara ritual di huma sérang telah selesai, barulah huma-huma yang lain memulai kegiatan pertaniannya.

Berdasarkan teks Warugan Lemah, naskah lontar Sunda kuna dari abad ke-16 yang menguraikan tentang pola pemukiman Sunda kuna, tanah yang condong ke timur disebut purba tapa. Secara harfiah purba tapa berarti ‘berada di sebelah timur orang yang bertapa’, termasuk topografi tanah yang tidak baik untuk dihuni. Dapat dibayangkan, seseorang yang berada di sebelah timur orang yang sedang bertapa tentu mengganggu pelaksanaan tapa, karena orang tersebut menghalangi sinar matahari. Hal ini mengisyaratkan bahwa timur adalah tempat yang disucikan oleh masyarakat Sunda.

Jika depan sama dengan timur, tentu kanan sama dengan selatan. Selain bermakna selatan, ternyata daksina juga bermakna ‘kanan’ (Zoetmulder, 2006: 188). Upacara pradaksina dalam kepercayaan hindu adalah berputar dengan menganankan objek yang dikelilinginya. Berputarnya pun berdasarkan arah jarum jam. Objek yang dikelilinginya adalah arca atau api suci yang disebut ‘daksināgni’, api yang selalu berada di sebelah kanan orang yang mengitarinya.

Dalam konsep tata ruang Sunda kuna sebagaimana tercantum dalam teks Warugan Lemah, kontur tanah yang baik adalah tanah yang condong ke kiri (sebagai lawan dari kanan), atau dengan kata lain, ke utara. Kontur tanah demikian disebut talaga hangsa yang secara harfiah berarti telaga (dan) angsa. Makna ini mengisyaratkan keharmonisan. Tanah ibarat telaganya, sementara penghuninya adalah angsa-angsa yang berenang di telaga itu. Konon, pengaruhnya dapat menjadikan empunya lahan menjadi dikasihi banyak orang. Itulah kenapa sebabnya kampung-kampung di Baduy, termasuk kampung di sekelilingnya seperti Citorék dan Cibedug, kebanyakan kontur tanahnya condong ke utara. Di Bandung pun demikian, kampung adat Mahmud dan Kampung adat Cireundeu kontur tanahnya condong ke utara, dan kuburan leluhur selalu ditempatkan sebelah selatan di hutan larangan (leuweung tutupan). Demikian juga keadaan di Pakuan Pajajaran pada jaman pertengahan. Berdasarkan rekonstruksi mutakhir Saleh Danasasmita (2006), stereotip lahannya condong ke utara.

Sebagaimana letak huma paling sakral adalah huma paling timur, kampung di wilayah Baduy pun semakin selatan semakin sakral. Seorang wanita Baduy harus menghadap selatan ketika menumbuk padi huma, arca domas yang disakralkan berada di sebelah selatan wilayah Kajeroan. Bahkan orang Kanékés menganggap cikal bakal ‘pancer’ manusia berasal dari kampung Cikeusik, kampung yang letaknya paling selatan di wilayah Baduy.

Dari uraian diatas dapat dimaknai bahwa timur dan selatan dianggap sakral, sementara barat dan utara dianggap profan. Para tamu yang hendak berkunjung ke daerah Baduy, harus melalui jalur utara dan keluar melalui barat atau kembali ke utara.

Berdasarkan kodrat alam yang disediakan Tuhan bagi masyarakat Sunda, selatan merupakan tempat hulu cai. Ciliwung yang hulunya berasal dari lereng Gunung Pangrango, mengalir dari selatan menuju utara. Cisadané yang hulunya berada di Gunung Salak mengalir dari selatan ke utara. Citarum juga hulunya di selatan. Ciujung yang hulunya terletak di Desa Kanékés juga mengalir dari selatan ke utara. Di bagian hulunya (baca: selatan) air masih jernih.

Dengan demikian, lali ka purwa-daksina berarti lupa terhadap azalinya, wiwitan-nya, lupa kepada timur dan selatan yang disucikan, lupa pada arah depan sebagai tujuan, lupa terhadap kanan sebagai tempat yang mestinya diikuti (katuhukeuneun), dan lupa terhadap matahari dan air sebagai sumber kehidupan. Lupa terhadap kearifan leluhurnya.

Elok tulisan ini ditutup dengan mengutip wejangan dari teks Sunda Kuna abad ke-16, Sanghyang Sasana Maha Guru, yang mengingatkan kita akan keutamaan air dan matahari: “Paksa ma cai, alaeunana ma, basana bijil ti huluna. Téka bwar hérang tiis rasana. Geus ma hanteu kawurungan, teka ri sagara… Daék éka ma ngaranya, Sanghyang Aditya, basana metu ti bwana wétan, hanteu kawurunganan, ku méga ku hujan, ku kukus ku sanghub, teka ring kulwan, ku geuing éka laksana.” Yang artinya: “Maksud itu adalah air, manfaatnya itu, ketika muncul dari hulunya, terasa mengalir jernih dan sejuk. Lagipula tidak terhalangi sampai ke lautan… kemauan itu adalah matahari, ketika terbit dari dunia sebelah timur, tidak terhalangi, oleh awan dan hujan, oleh asap dan kabut, sampai terbenam di sebelah barat, karena kesadaran akan satu perbuatan.”

Apabila memang demikian makna purwadaksina, tak heran jika banyak orang yang lali. Bukankah perjuangan sebuah bangsa, meminjam istilah Milan Kundera, adalah perjuangan melawan lupa?
Kategori : , , ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSONAL

Tentang Ibo Zavasnoz.

Tentang Karinding.

Tentang Iket Sunda Kiwari.

TERAKHIR DILIHAT