Kamis, 28 Januari 2016

K.F. Holle

Karel Frederik Holle (1829-1896) adalah seorang Belanda pemilik perkebunan di Garut, yang juga diangkat menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda. Holle sangat berminat terhadap bahasa dan kesusastraan pribumi, khususnya bahasa Sunda, karena ia pernah bertugas di daerah Priangan Timur. Sahabat sekaligus murid Holle adalah Muhamad Musa, seorang pejabat pribumi di Limbangan, Garut, yang banyak menghasilkan karya sastra dalam bahasa Sunda.

Nama aslinya Karel Frederik Holle. Tapi orang Sunda baheula memanggilnya Tuan Hola. Pada abad ke-19, di Hindia Belanda, ia dianggap sebagai ahli linguistik karena keluasan pengetahuannya mengenai bahasa Melayu, Sunda, dan Jawa.

Selain itu, ia pun dikenal sebagai salah seorang yang berjasa memajukan kebudayaan Sunda. Bidang yang ia geluti cukup banyak. Mulai dari mendorong supaya bahasa Sunda dipakai lagi dalam bentuk tulisan. Begitu pula dengan usahanya menerbitkan buku-buku Sunda. Penelitian prasasti dan naskah Sunda ia pun geluti.

Karena keluarganya mengalami kerugian dalam bisnis, maka ayahnya, Pieter Holle, beserta dua pamannya Willem van der Hucht dan Jan Pieter van der Hucht mengadu nasib ke Hindia Belanda. Ketika itu memang sedang terjadi depresi ekonomi di seluruh Eropa.

Keluarganya tiba di Batavia pada 1845. Willem mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola perkebunan teh di Parakan Salak. Sedangkan Pieter mendapat pekerjaan di perkebunan teh Bolang, Bogor.

Pamannya, Willem, yang bersahabat dengan Gubernur Jenderal, mendorong Holle untuk belajar bersama anak-anak Gubernur Jenderal di Istana Bogor. Pamannya pula yang mencarikan pekerjaan untuk Holle, yaitu sebagai jurutulis di kantor pemerintah pada 1846.

Tapi pada 1856, ia berhenti jadi jurutulis, sebab ingin hidup mandiri. Ia hendak mengelola perkebunan teh di sekitar Cikajang, Garut. Akhirnya terlaksana, sebab ia mendapat bantuan keuangan dari iparnya N.P. van den Berg, seorang bankir (yang nantinya jadi Presiden Java Bank) di Batavia. Perkebunannya dinamai Waspada.

Holle dan Naskah Sunda

Sejak diangkat jadi jurutulis pemerintah pada 1846, ia tertarik untuk belajar bahasa Sunda serta meneliti unak-anik budaya Sunda. Termasuk mengumpulkan naskah-naskah Sunda serta berusaha membaca dan meneliti prasasti-prasasti Sunda

Prestasi Holle untuk mengumpulkan naskah-naskah Sunda memang luar biasa. Menurut Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan (1988), Holle berhasil mengumpulkan 171 naskah Sunda yang disimpan di Museum Nasional Jakarta (jumlah seluruh naskah Sunda yang ada di situ 404 naskah) dan tiga naskah lagi tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.

Selain itu, dari buku susunan Edi S. Ekadjati (ed) di atas, dalam mengahadapi naskah-naskah dari Tatar Sunda, Holle menyajikan teks naskah-naskah dalam bentuk aslinya dan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Contohnya, ia menerbitkan piagam penghargaan dari Susuhunan Mataram untuk Ki Mukarab, penduduk Kampung Cikeruh, distrik Wanakerta, Afdeeling Limbangan, yang telah berjasa membantu mengepung kota Batavia (”Pijagem van den Vorst van Mataram”, 1864)

Bahkan K.F. Holle-lah yang pertama mengumumkan keberadaan naskah Sunda kuna kepada publik. Ia menuliskannya dalam “Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali” (1867).

Dalam artikel ini K.F. Holle mengemukakan adanya tiga naskah Sunda pada koleksi BGKW itu, yaitu naskah Kropak 632 yang berisi Amanat Galunggung. Kedua, Koropak 630 berjudul Sanghiyang Siksakandang Karesian. Sedangkan yang ketiga, Kropak 631 berjudul Candrakirana.

Dia juga menganggap naskah-naskah sebagai sumber sejarah. Misalnya dalam “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen” (1869), ia membahas sejarah Priangan berdasarkan 9 naskah.

Prasasti

Selain tertarik pada naskah-naskah Sunda kuna, Holle juga tertarik untuk metranskrip prasasti-prasati yang ada di Tatar Sunda. Dari tulisan-tulisan Saleh Danasasmita yang dikumpulkan dalam Sundalana 5: Mencari Gerbang Pakuan (2006) dua di antara prasasti yang pernah dibaca dan ditranskrip Holle adalah Prasasti Batutulis dan Prasasti Gegerhanjuang.

Prasasti Batutulis pertama kali ditemukan oleh rombongan ekspedisi VOC yaang dipimpin oleh Scipio pada 28 Juli 1687. Dalam karyanya “De Batoe Toelis te Buitenzorg” (1869), Holle menyimpulkan atau beranggapan bahwa Sri Baduga-lah yang mendirikan Pakuan. Pendapat ini diterima oleh para penafsir prasasti tersebut, bahkan bertahan sampai kepada Amir Sutaarga.

Kedua ia mentranskrip dan meneliti Prasasti Gegerhanjuang dalam tulisannya “Beschreven Steen uit de Afdeeling Tasikmalaya Residentie Preanger.” (1877). Prasasti ini berasal dari Kabuyutan Linggawangi, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Prasasti yang diberi nomor D 26 itu terdiri atas 3 baris tulisan. Ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda kuna.

Selain itu, Holle pernah meneliti Prasasti Kabantenan. Dua tulisannya yang berkaitan dengan prasasti tersebut, “Voorloopig Bericht omtrent de vijft koperen platen van Kabantenan” (1867) dan “De kooperen plaatjes van Kabantenan” (1870).

Namun segala perkara yang ada di dunia ini mesti berakhir. Begitu pula dengan Holle. Pada 1877 dia sakit keras dan sembuhnya lama. Energinya terkuras. Dan ketika krisis menimpa budidaya teh dia tidak bisa mengatasinya. Hal ini lebih disebabkan karena dia terlalu menghabiskan terlalu banyak uang untuk bermacam-macam kegiatan yang dilakukannya. Walhasil, tidak ada dana untuk mengatasi masa sulit tersebut.

Akhirnya dia bangkrut dan harus meninggalkan Waspada yang dia cintai. Pada 1889 dia pergi ke Bogor untuk tinggal saudari bungsunya yang telah menjanda. Tapi tahun berikutnya, tepatnya tanggal 3 Mei 1896 dia meninggal dan dikuburkan di Tanah Abang, Batavia, berdampingan dengan makam ibunya.

Semasa hidupnya, Holle pernah diangkat sebagai jurunasihat Honorer untuk Urusan Pribumi pada tahun 1871. Atas jasa-jasanya, pada 1895 pemerintah kolonial pun menganugerahinya “Officierskruis van de Orde van Oranje Nassau”.

Setelah meninggal, Holle masih dikenang. Untuk mengenangnya, pemerintah kolonial membuat patung setengah dadanya di alun alun Garut pada 29 Oktober 1899. Ia juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Garut, yaitu Jalan Holle (sekarang Jl. Mandalagiri).


Museum Karel Frederik Holle di Garut tahun 1001

Sumber:
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas
Mikihiro Moriyama. 2005. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-9100-23-2.
Tom van den Berge. 1998. Karel Frederik Holle : theeplanter in Indiƫ 1829-1896. Amsterdam: Bakker. ISBN 90-351-1969-X

Kategori :

PERSONAL

Tentang Ibo Zavasnoz.

Tentang Karinding.

Tentang Iket Sunda Kiwari.

TERAKHIR DILIHAT