Jumat, 14 Maret 2014

Ibo Zavasnoz: Belajar Memaknai Nilai Spiritual

Saya terkadang heran, entah keheranan ini cuma ada di diri saya sendiri. Kebanyakan dari orang (Indonesia), kalau sudah bicara tema 'spiritual' selalu saja mengasosiasikannya dengan 'agama', 'Tuhan', atau sejenisnya. Hal ini begitu mudah dilihat dari berbagai grup virtual yang memakai kata 'spiritual' dalam nama grupnya.

Saya menduga ini dari kelemahan alam pikir kita berpikir historis. Terutama disebabkan dari sistem dan praktik pendidikan formal yang mendegradasikan pentingnya pemaknaan peristiwa sejarah secara merdeka dan humanis. Dari kultur pendidikan yang otoriter dan ahistoris seperti terjadi sekarang ini, maka tak heran bila produk-produk yang dihasilkan juga kebanyakan error cara berpikirnya. Error pulalah produk pikirannya. Sebab-akibatnya saling mendukung.

Bila menilik dari etimologinya, spiritual diserap dari bahasa Inggris 'spirit' (roh) yang berakar dari Latin 'spiritus' yang berarti 'nafas', 'kekuatan', 'jiwa', dan 'hidup'. Nah, apabila kemudian pada praktik hari ini kata 'spiritual' kemudian diasosiasikan dengan 'agama', saya merasa perlu untuk merekomendasikan kepada kita semua untuk mengecek ulang cara berpikir dan metode penelaahan masalah kita. Dalam filsafat ilmu ini disebut epistemelogi. Ya, kita perlu cek ulang.

Saya memaknai bahwa 'nafas', 'kekuatan', 'jiwa', dan 'hidup' itu adalah sebuah metafora. Dan bila dikatakan metafora maka ia perlu ditafsirkan secara imajinatif. Bukan berarti Anda tidak punya kebebasan untuk menafsirkannya, tetapi apabila penafsirannya hanya terbatas pada terma-terma 'agama', 'orang suci', 'kitab suci', itu menunjukkan bahwa Anda manusia yang berimajinasi terbatas. Dan apabila terbatas, maka, ia bertolakbelakang dengan kebebasan objek sasaran (spiritual) yang sedang Anda tafsirkan itu. Anda itu kontradiktif. Sungsang. Kaki di kepala, kepala di kaki.

Bagi saya, spirit itu bersifat esoteris alias kebatinan. Esoteris atau kebatinan itu berada di wilayah 'halus'. Lebih bersifat 'ke dalam'. Ke dalam mana? Hanya Anda sendirilah yang tahu karena 'yang dalam' itu berada di dalam Anda sendiri. Ia tak berbentuk sekaligus berbentuk. Tak berbentuk saat ia berada di luar diri dan berbentuk saat masuk ke dalam diri Anda. Bentuk itu sendiri bersifat temporer. Seperti udara yang Anda tarik-hembus-tarik-hembus itu. Udara di alam bebas itu bebas. Lubang hidung Anda sendirilah yang mencoba menangkap kebebasan udara itu.

Bagi saya sederhana saja, bumi kita hari ini, masih berpegang pada dua, yaitu material dan immaterial, bendawi dan non bendawi, jasmani dan rohani. Marilah kita mulai dari hal-hal yang pragmatik. Mulai dari hal-hal yang konkret, seperti memungut permen karet yang ditempel orang iseng di kursi angkutan kota. Mulailah dari hal-hal yang material. Bagaimanapun juga yang itu lebih bisa dirasakan manfaatnya secara meluas ketimbang mencoba menggenggam erat udara di telapak tangan Anda.

Spiritualitas itu begitu simpel. Sederhana saja. Sesederhana menjaga tangan Anda untuk tidak colek bini/suami tetangga. Berspiritualitas itu bisa dimulai dari mana saja, dari yang 'halus/esoteris/batin' atau yang 'zahir/material/praktik'. Dan tetap saja, darimana pun Anda memulainya, cukup sadari saja bahwa tujuan Anda adalah berspiritualitas alias 'menghaluskan yang halus' itu tadi. Karena bagaimanapun juga, yang 'praktik/material' itu hampir selalu mencerminkan yang 'batin/halus/spiritual' di dalam diri Anda.

So, selamat berspiritualitas. Mulailah dari hal-hal yang sederhana. Praktikkan kehalusan diri Anda. Dan, ingat! tak perlu sekali-sekali paksakan 'lubang hidung' Anda pada orang lain karena spesifikasi masing-masing orang berbeda.

Rahayu alam semesta, ...semoga bermanfaat.
Ibo Zavasnoz
Kategori :

PERSONAL

Tentang Ibo Zavasnoz.

Tentang Karinding.

Tentang Iket Sunda Kiwari.

TERAKHIR DILIHAT